Selasa, 18 Desember 2012

SEDEKAH MENYANTUNI ANAK YATIM SEBAGAI BENTUK ASURANSI JIWA YANG ISLAMI

Asuransi jiwa merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, dananya diambil dari iuran premi dari seluruh peserta asuransi. lantas bagaimanakah asuransi jiwa dalam pandangan islam? Di dalam agama islam, masalah asuransi jiwa ini sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tidak islami. orang yang mengasuransikan dirinya dianggap mengingkari takdir Allah SWT karena Allah-lah yang menentukan segala galanya termasuk dengan kematian maupun rizky seseorang. hingga kini, masalah asuransi jiwa ini masih dipandang sebagai masalah ij'tihat, yaitu masalah yang masih diperdebatkan dan sering menimbulkan perbedaan pendapat yang tidak bisa dihindari. Ketika kita membicarakan perihal Asuransi Jiwa dalam pandangan Islam, tentu kita harus merujuk kepada Al qur'an dan Hadist. serta pendapat para ulama yang ahli dalam bidang ini. Dalam risalah yang amat terbatas ini saya ingin mengutipkan salah satu instrument Ekonomi Islam yaitu At-ta’min (Asuransi) dalam literature fiqh klasik. Menurut para ulama yang pakar dalam perundang-undangan Islam, ada beberapa konsep yang mengarah kepada konsep At-Ta’min (Asuransi) berdasarkan Syari’ah Islam, diantaranya adalah [1]: § Al ‘Aqilah : Saling memikul atau bertanggungjawab untuk keluarganya. Jika salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai kompensasi saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut aqilah. Lalu, mereka mengumpulkan dana (AI-Kanzu) yang mana dana tersebut untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak sengaja. [2]. Sebagaimana dalam finman Allah swt: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunub seorang mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja, dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah maka hendaklah seorang hamba sahaya beriman serta membayar diat… “(QS.Annisa 4:92) Adanya asuransi syariah yang mulai tumbuh dan berkembang dalam lingkingan masyarakat baru – baru ini, menjadi alternatif lain untuk menghindari perdebatan yang diakibatkan oleh asuransi jiwa konvensional yang dianggap tidak islami. Prinsip asuransi syariah yang tidak menyimpang dari aturan – aturan syariah membuat kita merasa aman dari perasaan ragu akan dosa, sehingga kita semua tidak usah takut lagi memiliki asuransi jiwa. Ciri – ciri asuransi jiwa yang syariah ada lima macam yaitu ; akat asuransi syariah adalah bersifat tabbaru’ yaitu sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali, tidak ada pihak yang lebih kuat sehingga semua keputusan diambil secara jamaah, akad asuransi bersih dari riba, asuransi syariah bersifat kekeluargaan yang kental, dan yang terakhir akad asuransi ini bukanlah akad mulzim karena pihak anggota yang memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapatkan imbalan. atau JIKA MASIH RAGU...ADA CARA yang lebih arif YANG DIUTARAKAN OLEH USTAD YUSUF MANSUR YAITU BERUPA SEDEKAH DENGAN MENYANTUNI ANAK YATIM MINIMAL 2 ORANG PER ANAK... satu agar tertutup keburukan si anak yang satu agar kebaikan si anak terpancar, melalui sedekah ini kita akan mendapatkan balasan salah satunya di selamatkan dalam kematian yang buruk. Bagi yang percaya dengan keutamaan bersedekah, dipastikan tidak akan ada orang yang kikir di dunia. Ustad Yusuf Mansur telah mengungkapkannya dalam ‘Matematika Dasar Sedekah 1’. Dia mengadopsi rumus yang terdapat dalam Quran Surat Al-An’am ayat 160 (QS 6:160) dan QS 2:261.akan ditambah menjadi 19. Janji setiap sedekah diganti 10 kali terdapat dalam Quran Surat Al-An’aam ayat 160 yang berbunyi, “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya…..” Dalam rumusan kedua, hitungan bagi mereka yang bersedekah akan diganti 700 kali lipat. Hal itu terdapat dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 261 yang berbunyi, ”perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” “Dari Ali k.w., Rosululloh saw. bersabda, “Bersegeralah kamu bersedekah, karena musibah tidak dapat melangkahi sedekah.” (HR Rozin-Misykat) Banyak sekali keutamaan yang terkandung dari bersedekah atau menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin, keutamaan tersebut dapat dirasakan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan Allah pasti akan membalas kebaikan makhluknya dengan kebaikan pula. Bahkan di dalam Al-Qur'an, Allah akan melipatgandakan ganjaran para ahli sedekah. Allah juga akan memberi naungan bagi ahli sedekah, dan akan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Yakinlah bahwa menyantuni anak-anak yatim dan mengasihi fakir miskin secara ikhlas pasti akan membawa berkah bagi kita. Semoga Allah memberi keselamatan bagi kita di dunia maupun di akhirat,

Senin, 17 Desember 2012

KESEHAJAAN PESANTREN PENGHAPAL AL QURAN, AL MUBAROK JAMBI

Ma’had Al Mubarak Al Islami Litahfizhil Quran Al Karim Tahtul Yaman Pelayangan, adalah salah satu pondok pesantren tempat menggodok seorang muslimin menjadi penghapal Alquran yang berlokasi di Seberang Kota Jambi, Jl. Temunggung Jkaafar Pelayangan Kota Jambi Jambi.dengan no.nssp 161 161 512157107012 PP. Al-Mubarak Al-Islam (symber ; http://www.alkhoirot.net/2010/07/daftar-pondok-pesantren-jambi.html) Menghafal Alquran diyakini akan mendapat keutamaan baik di dunia dan di akhirat. Hal itu yang menjadi latar belakang mengapa para penghapal Alquran berlomba-lomba untuk menjaga hapalannya dari sejak ia mulai berniat menjadi penghapal Alquran, hingga akhir hayatnya kelak. Memandang Pondok Pesantren Al-Mubarok dengan keberadaan sekarang ini, bukanlah hal yang bijak tanpa menoleh kebelakang sekelumit tentang berdirinya. Pada tahun 1996, Pondok Pesantren Al-MubarokAl-Islam Tahtul Yaman didirikan oleh KH.Mubarok Bin Daud Ibrahim diperuntukkan sebagai lembaga pendidikan dengan pendanaan swadaya Pondok Pesantren dan para Donatur serta masyarakat yang ikut andil dalam pembangunan tersebut.awalnya hanya memiliki 70 santri yang belajar dirumahnya. Karena santri yang belajar semakin banyak dikembangkanlah menjadi Pondok Pesantren. Mulailah Ustad Mubarok melangkah, kesulitan-kesulitan, halangan dan berbagai rintangan datang silih berganti, namun dengan modal utama keyakinan memperjuangkan agama Allah SWT dan semangat serta motivasi yang kuat. Perkembangan jumlah statistik peserta santri berkembang pesat. Total santri pada tahun 2012 ini berkisar 800 santri, yang berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari negara tetangga seprti malaysia.(nara sumber Ustad Mubarok dan Ustad Azmi). Hal ini merupakan jumlah yang fantastis dimana belum tentu suatu perguruan islam dapat menelurkan santriwan santriwati hafizt quran sebanyak ini. Pembangunan fasilitas setahap demi setahap, terdiri atas : asrama santri putra,asrama santri putri,aula,ruang belajar dan ruang olah raga,mushola,ruang tatausaha,ruang perlengkapan,tempat tinggal pengajar/pengurus,dapur,dan fasilitaspendukung lain Tahun 2011 pesantren al mubarok pernah mengalami bencana alam yang berakibat rubuhnya atap bangunan aula yang diterjang angin puting beliung.
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - ATAP RUBUH - Kondisi atap Pondok Pesantren Al-Mubarak, Sekoja, yang porak-poranda usai diterjang puting beliung, Sabtu (10/12). Atap bangunan yang rusak merupakan asrama putri. Tribun Jambi/ Kurnia Prastowo Adi sumber : http://jambi.tribunnews.com/2011/12/10/atap-pondok-pesantren-al-mubarak-sekoja-roboh-berita-foto Pondok Pesantren Al-Mubarok Al-Islam Tahtul Yaman yang diasuh oleh H. Mubarok telah banyak menghasilkan havidz dan havidzah yang berprestasi, dimana santri santri yang telah dibina dantelah menghapal 30 juz al qur'an telah diakui oleh negara lain dimana beberapa santri beliau terpilih dan dikirim ke Malaysia, dan Brunei Darussalam BAHKAN ARAB SAUDI untuk menjadi imam di Negara tersebut. “Tentu yang di kirim itu adalah santri terpilih dengan hafalan dan pengetahuan agamanya kuat. Selain itu pesantren AL MUBAROK pernah kedatangan Syeh Sayid Habib Salim, guru besar dan ulama Kota Yaman yakni pengasuh Pondok Pesantren Ribat Tarim Hadromi Yaman Selasa,02/02) disambut oleh ratusan santri dan para pengasuh pondok pesantren yang ada dalam Provinsi Jambi bahkan oleh jajaran pemerintah Wakil Gubernur Jambi H.Fahrori Umar, Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Jambi Drs.H.Abdul Kadir Husein, M.Pd.I, Rektor IAIN STS Jambi Prof.DR.H.Muhktar Latif, M.Pd.
kunjungan beliau ini selain berdakwah juga dalam rangka kembali menjalin tali silaturahim, karena menurut sejarah antara Negeri Yaman dengan Kota Jambi, khususnya antara negeri Yaman dengan Kelurahan Tahtul Yaman telah terjalin silaturrahim sejak 200 tahun silam,” Ini dibuktikan dengan banyaknya warga masyarakat Jambi keturunan Yaman. Seperti keluarga besar, Al-Barekbah, Al-Jufri, Al-Hafsi, Bafadhol, Al-hadat dan yang lainnya. Mereka datang ke Jambi untuk menyebarkan ilmu agama dan memperbaiki akhlak sebagaimana ajaran Rasullullah SAW. Ditambahkan Habib Salim, harus disyukuri oleh masyarakat Provinsi Jambi, karena memiliki keistimewaan. Salah satu Kelurahannya bernama Tahtul Yaman, yang tidak terdapat di tempat lain. "Allah SWT demikian besar berkahnya yang diturunkan untuk Negeri Yaman, mudah-mudahan juga diturunkan kepada warga masyarakat Tahtul Yaman ini khususunya dan Jambi pada umumnya, terlebih lagi di Tahtul Yaman ini berdiri beberapa Pondok Pesantren dan salah satunya adalah Ponpes Al-Mubarok, yang artinya sangat diberkahi Allah SWT," ujar pimpinan pondok pesantren yang berdiri sejak 1304 Hijriyah ini. Mengenai Dana operasional pesantren, santri dikenakan biaya rp. 45 ribu perbulan, sungguh dana yang sangat minim untuk operasional makan, belajar dan lain-lain. Ustadz Azmi mengatakan, semasa masih bekerjasama dengan Gubernur Abdurahman Sayoeti semua kebutuhan dipondok pesantren gratis. Baik sembako, kebutuhan kamar mandi bahkan setiap pagi anak-anak pondok pesantren selalu mendapatkan segelas susu. Semua itu diberikan secara gratis. Namun sekarang karena tidak ada bantuan pemerintah lagi santri dikenakan biaya hanya dengan Rp45ribu per bulan . Dari 800-an siswanya tidak semua siswa membayar iuran bulanan tersebut. Hal itu karena, 50 persen lebih anak-anak pondok memang berasal dari keluarga yang tidak mampu dan anak-anak yatim. Oleh sebab itu, jika benar-benar tidak mampu membayar, pondok tidak mewajibkan mereka membayar. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ustadz Azmi sangat percaya dengan pertolongan Allah. Dia yakin, siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya pula. Adapun pengeluaran rutin pondok dalam sebulan adalah untuk listrik dan air Rp4 juta, untuk beras empat ton sebesar Rp24 juta serta untuk belanja lauk pauk Rp18 juta, semuanya diperoleh dari para donatur, tetap maupun tidak tetap. Sungguh luar biasa peran pesantren ini, tidak hanya membina dan membibit penghapal alqur'an tetapi juga ikut membantu dan memakmurkan anak yatim dan dhuafa agar berkesempatan yang sama dalam meraih ilmu agama dan menjadi havidz dan havidzah qur'an. Bagaimana dengan gaji? Menurut Azmi, ketika tidak lagi bekerja sama dengan Gubernur Jambi, pesantren memang kewalahan menggaji ustadz dan ustadzahnya. Terkadang empat bulan sekali barulah digaji. Itupun kalau ada bantuan dalam jumlah besar. “Jika bantuan ada Rp 5 juta dibagilah dengan jumlah ustad dan ustazahnya. Saat ini kalau yang ustad/uztazah tetap ada 10 orang. Kalau ditambah dengan ustadz-ustadz ngabdi atau siswa yang mau tamat, ada sekitar 40-an,” jelasnya. Sekarang katanya, pengajar pondok pesantren AL Mubaroq bisa sedikit bernafas lega karena mendapat bantuan Dana BOS. Dari dana itulah gaji mereka berasal. MAKANYA KAMI DARI RUMAH TAHFIDZ QUR'AN MENGHIMBAU KEPADA KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT UNTUK PERAN AKTIF DALAM PROGRAM INI, SUNGGUH LANGKAH YANG LUAR BIASA MENUNJUKKAN PERSAUDARAAN KITA SESAMA MUSLIM DAN PASTILAH AKAN DIBALAS SEBESAR APAPUN DONASI AMAL KEBAJIKAN YANG KITA LAKUKAN DALAM MEMBIAYAI DAN MEMBANTU PONDOK PESANTREN INI AGAR TETAP DAPAT MELAHIRKAN PARA PENGHAPAL AL QUR'AN DEMI TERJAGANYA KEMURNIAN AGAMA ISLAM....SILAHKAN KUNJUNGI LANGSUNG LOKASINYA....UNTUK MERASAKANATMOSFIR KESAHAJAAN PON PES TERSEBUT......

Selasa, 11 Desember 2012

KAJIAN RIBA DALAM ISLAM

Pengertian Riba Riba secara bahasa bermakna; ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.[1] Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil[2]. Kata riba juga berarti ; bertumbuh menambah atau berlebih. Al-riba atau ar-rima makna asalnya ialah tambah tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang disyaratkan dalam Al-Qur’an. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest” sementara para ulama’ fikih mendefinisikan riba dengan “ kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya”. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo[3]. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli, maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip mua’amalat dalam Islam. Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ : 29 ………………………… Artinya : Hai orang-orang yang beriman janganah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil. Dalam kaitanya dengan pengertian al-batil dalam ayat tersebut, ibnu ArobiAl-Maliki menjelaskan seperti yang dikutif oleh Afzalurrohman.[4] ……… “ pengertian riba’ secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah. Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bunga tanpa adanya suatu penyeimbangan yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Namun, yang tidak adil disini adal peminjam diwajibkan untuk selalu dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa saja rugi. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama’ sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzahib fiqhiyyah, diantaranya sebagai berikut. a. Badr Ad-Din Al-Ayni pengarang Umdatul Qari’ syarah Shahih Al-Bhukhari. …………………….. Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari’ah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis rill.[5] b. Imam zarkasi dari madzab Hanafi …………. Riba adalah tambahan yang disaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut. c. Raghib Al-Asfahani …………………………… Riba adalah penambahan atas harta pokok. d. Imam An-Nawawi dari Madzab Syafi’i[6]. …………………………….. Berdasarkan penjelasan Imam Nawawi diatas, dapat dipahami bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah …………………………..penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman. e. Qatadah ………………………………. Riba Jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat membayar dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan. f. Zaid Bin Aslam …………………………….. Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang beramplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata “bayar sekarang atau tambah”. g. Mujahid ………………………………….. Mereka menjual daganganya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu membayar) si pembeli memberikan “tambahan” atas tambahan waktu. h. Ja’far As-Shodiq dari kalangan Madzab Syi’ah …………………………………….. Ja’far As-Shodiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman maka seseorang tadi tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam meminjam dan seterusnya. Padahal Qord bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia. i. Imam Ahmad Bin Hambal. Pendiri Madzab Hambali ………………………………… Imam Ahnad Bin Hambal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atauy membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan. 2. Jenis-Jenis Riba Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok yang pertama terbagi lagi menjadi riba jahiliyah dan qardh. Sedangkan kelompok kedua riba jual beli terbagi menjadi riba Afdhl dan riba nasi’ah. Adapun penjelasannya sebagai berikut[7]: a. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disaratkan terhadap yang berhutang (Muqtaridh). b. Riba Jahiliyah Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditentukan. c. Riba fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang ribawi. d. Riba nasi’ah e. Penangguhan, penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antar yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Dalam kitab Fathul Mu’in riba dibagi menjadi tiga yaitu[8] : 1. Riba Fadhl Yaitu selisih barang pada salah satu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya. Termasuk dalam macam ini adalah riba qordh yaitu jika dalam utang kembali kepada pihak pemberi utang. 2. Riba yad Yaitu jika salah satu dari penjuual dan pembeli berpisah dari akad sebelum serah terima. 3. Riba Nasa’ Yaitu jika mensaratkan ada penundaan penyerahan dua barang ma’qud alaih dalam penukaranya (jual-beli). 3. Hukum Riba Hukum riba dalam Islam telah ditetapkan dengan jelas, yakni dilarang dan termasuk dariu salah satu perbuatan yang diharamkan. Namun proses pelaranga riba dalam Al-Qur’an tidak diturunkan oleh Allah SWT sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap[9]. 1. Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan menambah kebaikan disisi Allah SWT. Allah berfirman : ……………………………….Arrum Ayat 39 2. Allah SWT memberikan gambaran siksa bagi yahudi dengan salah satu karakternya suka memakan riba. (QS. An-Nisa’ : 160-161)……………………… 3. Allah melarang memakan riba yang berlipat ganda Ali Imran 130………………………… 4. Allah melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba. Albaqoroh 278-279…………………………. Untuk lebih memperjelas keharaman riba, Rosululloh SAW juga menjelaskan dan beberapa hadits diantaranya[10]: ………………………………………. Artinya : dari Jabir ia berkata Rosululloh SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda mereka itu semuanya sama ( HR. Muslim) ……………………………………………...hadis Hakim meiwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwasanya nabi Saw telah bersabda “riba itu mepunyai 73 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang berzina dengan ibunya”. (HR. Mutafaqun Alaihi)[11]. Bahkan dalam suatu hadis dinyatakan bahwa dosa orang yang mengerjakan riba lebih besar beberapa kali lipat daripada dosa orang yang berzina. Hal ini didasari oleh logika bahwa zina biasanya terjadi akibat gejolak syahwat yang tidak tertahan dan dilakukan tanpa pikir panjang, sementara praktek riba dilakukan dengan pertimbangan yang matang, jelas dan telaten[12]. Hakikat larangan tersebut tegas, mutlak, dan tidak mengendung perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan dari uang pokok. Larangan bunga ini tidaj hanya berlaku dalam agama Islam tetapi dalam agama non Islampun juga dilarang. Seperti halnya orang-orang Yahudi yang dilarang mempraktekkan riba. Pelarangan dimaksud banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam perjanjian lama (oldtestament). Maupun undang-undang talmud. Dalam Agama Kresten kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini dengan jelas. Namun, sebagian kalangan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6 : 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Disamping itu, para pendeta Agama kresten pada awal abad I – XII M. Juga berpandangan bahwa pengambilan bunga dilarang oleh ajaran agama. Dalam kalangan Yunani dan Romawi sejak abad 6 SM. Hingga 1 M. Telah terdapat beberapa jenis bunga. Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat yunani terkemuka, plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), menbgecam praktek bunga. Begitu juga dengan Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga[13]. Dari sedikit uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun bentuk riba maupun bunga dilarang secara mutlak oleh smua Agama, terutama Agama-Agama samawi. Hal ini dikarenakan dampak yang dikarenakan oleh adanya riba atau bunga tersebut dipandang merugikan masyarakat. KESIMPULAN Dalam konteks Islam, Riba merupakan satu halnya yang sangat dilarang. Bahkan penerapanya berakibat fatal bagi masyaraakat secara luas. Oleh sebab itu, tidak lagi menjadi perdebatan tentang haramnya riba, baik dalam lingkup Islam maupun non Islam. Sedangkan mengenai mpermasalahan Bank konvensional dan bunganya terdapat banyak perbedaan pendapat. Baik mengenai hukumnya mauoun tingkat nilai dari suku bunga itu sendiri. Namun, setelah dianalisis lebih jauh, tidak dapat dihindari bahwa bunga bank banyak memiliki kesamaan dengan riba. Bahkan pada penerapanya pada zaman ini, bunga bank telah menemui kriteria riba nasi’ah sehingga telah jelas keharamanya. Meski ada ulama’-ulama’ maupun tokoh-tokoh yang membolehkan adanya riba, namun itu hanya dalam jumlah minoritas, sedangkan mayoritas ulama’ Internasional sepakat bahwa bunga bank sama dengan riba dan hukumnya adalah haram secara mutlak. SUMBER http://andrezyrus.wordpress.com/2012/06/26/riba-dalam-islam/

ADAB ISLAMI HUTANG PIUTANG

ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG: [1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan. Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282) Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316). [2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang. Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147) Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala. Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51). [3]. Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305) Dari Jabir bin Abdullah t ia berkata: “Aku mendatangi Nabi r di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394) [4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti: a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi. d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya. Dari Abu Hurairah t, ia berkata bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah I akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387) Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah I membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah I melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi? [5]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”). Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan. [6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan. [7]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan. Rasulullah r bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya). [8]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya. Dari Jabir bin Abdullah t, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi r meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405). [9]. Bersegera melunasi hutang Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi r: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427). Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia berkata, telah bersabda Rasulullah r: “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390) [10]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. Allah I berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280). Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963) Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin. [Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi, Tanggal 15 November 2010]

LARANGAN BERPUTUS ASA DALAM ISLAM

Larangan Berputus Asa
Menurut sebuah riwayat dari Anas bin Malik, suatu hari Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya, ''Janganlah salah satu dari kamu meminta mati karena kesulitan hidup yang menimpanya. Jika memang sangat perlu dia berbuat demikian, maka ucapkan doa sebagai berikut, 'Ya Allah, panjangkanlah umurku kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku, dan matikanlah aku manakala memang kematian lebih baik bagiku'.'' (HR Bukhari-Muslim). Islam melarang prasangka buruk terhadap Allah dan putus asa dari rahmat-Nya. Surat An-Nisa ayat 29 melarang bunuh diri, karena Tuhan adalah Maha Penyayang kepada makhluknya. Dalam surat Al-An'am ayat 151 dan surat Al-Isra' ayat 31, Allah melarang keras membunuh anak-anak karena takut kemiskinan dan kemelaratan. Dalam peristiwa lain, Rasulullah SAW pernah berkunjung kepada seorang yang sangat menderita sewaktu sekarat menghadapi kematian. Rasulullah kasihan melihat penderitaan dahsyat pada akhir hayat orang itu. Lalu terjadilah dialog antara Rasulullah dan dia. Kata Rasulullah, ''Apakah pernah Anda memohon sesuatu kepada Allah?'' Ia menjawab, ''Pernah. Saya meminta kepada Allah supaya segala siksaan yang akan saya terima di akhirat nanti biarlah disegerakan di dunia ini juga.'' Rasulullah bersabda, ''Subhanallah, pasti Anda tidak akan kuat menanggungnya. Bukankah saya sudah mengajarkan doa yang bunyinya, 'Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa neraka'.'' (HR Imam Ahmad). Derita dan musibah seberat apa pun tidak boleh menyebabkan seorang Muslim bersikap putus asa, apalagi mempertanyakan keadilan Tuhan. Dalam surat Al-Ankabut ayat 2 dan 3 dijelaskan bahwa orang-orang yang beriman akan diuji dengan berbagai cobaan dalam kehidupan ini. Ibnu Abi Dunya meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, ''Tiap-tiap bencana apa pun yang menimpa seorang Muslim, sekalipun satu duri, adalah karena salah satu dari dua sebab. (Yaitu) karena Allah hendak mengampuni dosa kesalahannya yang tidak dapat diampuni-Nya melainkan dengan cobaan itu, atau karena Allah hendak memberinya suatu kehormatan yang tidak mungkin dapat dicapainya melainkan dengan cobaan itu.'' Dalam kaitan ini dapat dipahami kenapa eutanasia dilarang dalam Islam. Menurut hukum agama dan moralitas, eutanasia sama dengan tindakan pembunuhan. Almarhum Dr H Ali Akbar dalam buku Etika Kedokteran dalam Islam menyatakan, ''Islam mewajibkan dokter mengobati untuk meringankan dan menyembuhkan penderitaan si sakit dengan segala usaha, sampai ia sembuh atau mati. Eutanasia adalah pembunuhan yang dilarang oleh Allah SWT, baik atas permintaan sendiri, maupun karena hendak meringankan penderitaan si sakit karena Allahlah yang mempunyai hak mematikan.'' Pada surat Yusuf ayat 87, Allah SWT mengingatkan pesan Nabi Yakub kepada anak-anaknya tatkala hendak berangkat ke Mesir untuk mencari Yusuf, ''Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.'' Wallahu a'lam. sumber : http://rikearimba-hiprada.blogspot.com/2010/03/larangan-berputus-asa.html

ISLAM DAN MAKNA KESABARAN

Definisi Sabar
Secara bahasa sabar berarti al-habsu ( menahan ) dan al-man’u ( mencegah ), yaitu lawan kata dari al-jaz’u ( keluh kesah ). Dikatakan: shabara shabran (صبر صبرا ,( maksudnya : tegar dan tidak berkeluh kesah.Shabara berarti: menunggu, shabara nafsahu berarti: menahan diri dan mengekangnya,shabara fulan: menahannya, shabartu shabran : aku menahan diriku dari berkeluh kesah. Ada pula yang mendifinisikan sabar adalah menyatukan antara pikiran dan badan kita didalam tempat yang sama. Misalnya; Sehabis lelah bekerja dalam perjalanan pulang kita terjebak macet, orang yang sabar berarti pikiran dan badannya tetap berada ditempat dimana ia terjebak macet. Kalau pikirannya melayang dan berpikir “wah kalau saja tadi tidak lewat jalan ini saya tidak akan kena macet”, maka ini namanya mengeluh bukan sabar lagi. Orang yang sabar merupakan orang yang bertumpu pada proses dan menikmati semua proses tersebut. Sehingga sabar juga merupakan ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan emosi onal. Orang yang sabar itu mampu mengendalikan dirinya dan menahan respons yang bersifat jangka pendek untuk mendapatkan kenikmatan jangka panjang. Sedangkan keluhan merupakan kesulitan didalam menerima sesuatu yang terjadi, penolakan terhadap sesuatu yang ada pada diri kita. Ketika ada kemacetan seperti pada contoh diatas, kita merasa badan dan pikiran tidak berada dalam satu tempat sehingga timbul rasa mengeluh, akhirnya kita pun tidak menikmati “proses” tersebut. Definisi selanjutnya, Sabar adalah menahan diri dari sesuatu yang tidak disenangi tepat ketika sesuatu itu terjadi pertama kali. Misalnya ; Saat kita kejedot pintu, secara refleks kita mengucapkan “Innalillah” atau diam saja. Namun kalau pertama kali itu terjadi dan kita mengumpat,atau ngedumel maka ini bukan sabar namanya,meski setelah dipikir-pikir akhirnya dapat menerima, tetap saja bukan sabar namanya melainkan ridho/rela. Harus diingat Sabar itu penerimaan kita saat pertama kali musibah itu datang. Jelaslah bahwa makna sabar adalah mencegah dan menahan diri dari berkeluh kesah saat pertama kali hal yang tidak kita senangi datang, menahan lisan dari mengeluh, dan anggota badan dari mengamuk,seperti menampar pipi, merobek saku baju , membanting pintu dan semisalnya. Hakikat Sabar Hakikat sabar adalah akhlak utama yang merupakan bagian dari akhlak jiwa yang mampu menahan pemiliknya dari perbuatan yang tidak baik dan tidak senonoh. Sabar merupakan kekuatan jiwa yang dengannya jiwa menjadi baik dan tingkah laku menjadi lurus. Dan kekuatan ini menjadikan manusia mampu menahan jiwanya untuk memikul berbagai bentuk kelelahan, kesulitan dan penderitaan. Sumber: Buku, ” Indahnya Kesabaran ” , Penulis: Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthany, Penerbit: At-Tibyan-Solo Catatan kuliah pagi di PP. Miftahul Ulum yang diasuh oleh KH.Rois Yahya Dahlan Pati, http://tanbihun.com/tasawwuf/tasawuf/apa-sich-definisi-sabar-itu/ Dan berbagai sumber lainnya. Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mu’min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim) Sekilas Tentang Hadits Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad sebagaimana di atas, melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Suhaib dari Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh : - Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-Raqa’iq, Bab Al-Mu’min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no 2999. - Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam Musnadnya, yaitu hadits no 18455, 18360, 23406 & 23412. - Diriwayatkan juga oleh Imam al-Darimi, dalam Sunannya, Kitab Al-Riqaq, Bab Al-Mu’min Yu’jaru Fi Kulli Syai’, hadits no 2777. Makna Hadits Secara Umum Hadits singkat ini memiliki makna yang luas sekaligus memberikan definisi mengenai sifat dan karakter orang yang beriman. Setiap orang yang beriman digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’ ( عجبا ). Karena sifat dan karakter ini akan mempesona siapa saja. Kemudian Rasulullah SAW menggambarkan bahwa pesona tersebut berpangkal dari adanya positif thinking setiap mu’min. Dimana ia memandang segala persoalannya dari sudut pandang positif, dan bukan dari sudut nagatifnya. Sebagai contoh, ketika ia mendapatkan kebaikan, kebahagian, rasa bahagia, kesenangan dan lain sebagainya, ia akan refleksikan dalam bentuk penysukuran terhadap Allah SWT. Karena ia tahu dan faham bahwa hal tersebut merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada dirinya. Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti sesuatu tersebut adalah positif baginya. Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, bencana, rasa duka, sedih, kemalangan dan hal-hal negatif lainnya, ia akan bersabar. Karena ia meyakini bahwa hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya yang pasti memiliki rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah SWT. Urgensi Kesabaran Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran merupakan setengahnya keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman, adalah seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menggambarkan tentang ciri dan keutamaan orang yang beriman sebagaimana hadits di atas. Namun kesabaran adalah bukan semata-mata memiliki pengertian “nrimo”, ketidak mampuan dan identik dengan ketertindasan. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa insan. Dalam berjihad, sabar diimplementasikan dengan melawan hawa nafsu yang menginginkan agar dirinya duduk dengan santai dan tenang di rumah. Justru ketika ia berdiam diri itulah, sesungguhnya ia belum dapat bersabar melawan tantangan dan memenuhi panggilan ilahi. Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan agar lebih baik dan baik lagi. Bahkan seseorang dikatakan dapat diakatakan tidak sabar, jika ia menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Sabar dalam ibadah diimplementasikan dalam bentuk melawan dan memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur, kemudian berwudhu lalu berjalan menuju masjid dan malaksanakan shalat secara berjamaah. Sehingga sabar tidak tepat jika hanya diartikan dengan sebuah sifat pasif, namun ia memiliki nilai keseimbangan antara sifat aktif dengan sifat pasif. Makna Sabar Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah “Shobaro”, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “shabran”. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur’an: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28) Perintah untuk bersabar pada ayat di atas, adalah untuk menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rab nya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah: Menahan diri dari sifat kegeundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur’an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang). Artinya untuk berbuat seperti itu perlu kesabaran untuk mengeyampingkan keiinginan jiwanya yang menginginkan rasa santai, bermalas-malasan dan lain sebagainya. Sabar dalam jihad juga berarti keteguhan untuk menghadapi musuh, serta tidak lari dari medan peperangan. Orang yang lari dari medan peperangan karena takut, adalah salah satu indikasi tidak sabar. Sabar Sebagaimana Digambarkan Dalam Al-Qur’an Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam al-Qur’an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar; baik berbentuk isim maupun fi’ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah SWT, yang Allah tekankan kepada hamba-hamba-Nya. Dari ayat-ayat yang ada, para ulama mengklasifikasikan sabar dalam al-Qur’an menjadi beberapa macam; 1. Sabar merupakan perintah Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS.2: 153: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Ayat-ayat lainnya yang serupa mengenai perintah untuk bersabar sangat banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Diantaranya adalah dalam QS.3: 200, 16: 127, 8: 46, 10:109, 11: 115 dsb. 2. Larangan isti’ja l(tergesa-gesa/ tidak sabar), sebagaimana yang Allah firmankan (QS. Al-Ahqaf/ 46: 35): “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…” 3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar, sebagaimana yang terdapat dalam QS. 2: 177: “…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” 4. Allah SWT akan mencintai orang-orang yang sabar. Dalam surat Ali Imran (3: 146) Allah SWT berfirman : “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” 5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah SWT senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. Allah berfirman (QS. 8: 46) ; “Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” 6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. Allah mengatakan dalam al-Qur’an (13: 23 – 24); “(yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun `alaikum bima shabartum” (keselamatan bagi kalian, atas kesabaran yang kalian lakukan). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Inilah diantara gambaran Al-Qur’an mengenai kesabaran. Gembaran-gambaran lain mengenai hal yang sama, masih sangat banyak, dan dapat kita temukan pada buku-buku yang secara khusus membahas mengenai kesabaran. Kesabaran Sebagaimana Digambarkan Dalam Hadits. Sebagaimana dalam al-Qur’an, dalam hadits juga banyak sekali sabda-sabda Rasulullah SAW yang menggambarkan mengenai kesabaran. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar. Secara garis besar, hadits-hadits tersebut menggambarkan kesabaran sebagai berikut; 1. Kesabaran merupakan “dhiya’ ” (cahaya yang amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah SAW mengungkapkan, “…dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…” (HR. Muslim) 2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. Rasulullah SAW pernah menggambarkan: “…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…” (HR. Bukhari) 3. Kesabaran merupakan anugrah Allah yang paling baik. Rasulullah SAW mengatakan, “…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (Muttafaqun Alaih) 4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mu’min, sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah; “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya.” (HR. Muslim) 5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman, “Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku gantikan surga baginya.” (HR. Bukhari) 6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas’ud dalam sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan bin Mas’ud berkata”Seakan-akan aku memandang Rasulullah SAW menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari) 7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah SAW pernah menggambarkan dalam sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah.” (HR. Bukhari) 8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah SAW menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim) 9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah SAW mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari Muslim) Bentuk-Bentuk Kesabaran Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga hal; sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar untuk meninggalkan kemaksiatan dan sabar menghadapi ujian dari Allah: 1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad. Kemudian untuk dapat merealisasikan kesabaran dalam ketaatan kepada Allah diperlukan beberapa hal, (1) Dalam kondisi sebelum melakukan ibadah berupa memperbaiki niat, yaitu kikhlasan. Ikhlas merupakan kesabaran menghadapi duri-duri riya’. (2) Kondisi ketika melaksanakan ibadah, agar jangan sampai melupakan Allah di tengah melaksanakan ibadah tersebut, tidak malas dalam merealisasikan adab dan sunah-sunahnya. (3) Kondisi ketika telah selesai melaksanakan ibadah, yaitu untuk tidak membicarakan ibadah yang telah dilakukannya supaya diketahui atau dipuji orang lain. 2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, memandang sesuatu yang haram dsb. Karena kecendrungan jiwa insan, suka pada hal-hal yang buruk dan “menyenangkan”. Dan perbuatan maksiat identik dengan hal-hal yang “menyenangkan”. 3. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai dsb. Aspek-Aspek Kesabaran sebagaimana yang Digambarkan dalam Hadits Dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, terdapat beberapa hadits yang secara spesifik menggambarkan aspek-aspek ataupun kondisi-kondisi seseroang diharuskan untuk bersabar. Meskipun aspek-aspek tersebut bukan merupakan ‘pembatasan’ pada bidang-bidang kesabaran, melainkan hanya sebagai contoh dan penekanan yang memiliki nilai motivasi untuk lebih bersabar dalam menghadapi berbagai permasalahan lainnya. Diantara kondisi-kondisi yang ditekankan agar kita bersabar adalah : 1. Sabar terhadap musibah. Sabar terhadap musibah merupakan aspek kesabaran yang paling sering dinasehatkan banyak orang. Karena sabar dalam aspek ini merupakan bentuk sabar yang Dalam sebuah hadits diriwayatkan, : Dari Anas bin Malik ra, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW melewati seorang wanita yang sedang menangis di dekat sebuah kuburan. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah, dan bersabarlah.’ Wanita tersebut menjawab, ‘Menjauhlah dariku, karena sesungguhnya engkau tidak mengetahui dan tidak bisa merasakan musibah yang menimpaku.’ Kemudian diberitahukan kepada wanita tersebut, bahwa orang yang menegurnya tadi adalah Rasulullah SAW. Lalu ia mendatangi pintu Rasulullah SAW dan ia tidak mendapatkan penjaganya. Kemudian ia berkata kepada Rasulullah SAW, ‘(maaf) aku tadi tidak mengetahui engkau wahai Rasulullah SAW.’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sabar itu terdapat pada hentakan pertama.’ (HR. Bukhari Muslim) 2. Sabar ketika menghadapi musuh (dalam berjihad). Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda : Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian berangan-angan untuk menghadapi musuh. Namun jika kalian sudah menghadapinya maka bersabarlah (untuk menghadapinya).” HR. Muslim. 3. Sabar berjamaah, terhadap amir yang tidak disukai. Dalam sebuah riwayat digambarkan; Dari Ibnu Abbas ra beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melihat pada amir (pemimpinnya) sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia bersabar. Karena siapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal, kemudian ia mati. Maka ia mati dalam kondisi kematian jahiliyah. (HR. Muslim) 4. Sabar terhadap jabatan & kedudukan. Dalam sebuah riwayat digambarkan : Dari Usaid bin Hudhair bahwa seseorang dari kaum Anshar berkata kepada Rasulullah SAW; ‘Wahai Rasulullah, engkau mengangkat (memberi kedudukan) si Fulan, namun tidak mengangkat (memberi kedudukan kepadaku). Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya kalian akan melihat setelahku ‘atsaratan’ (yaitu setiap orang menganggap lebih baik dari yang lainnya), maka bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku pada telagaku (kelak). (HR. Turmudzi). 5. Sabar dalam kehidupan sosial dan interaksi dengan masyarakat. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang muslim apabila ia berinteraksi dengan masyarakat serta bersabar terhadap dampak negatif mereka adalah lebih baik dari pada seorang muslim yang tidak berinteraksi dengan masyarakat serta tidak bersabar atas kenegatifan mereka. (HR. Turmudzi) 6. Sabar dalam kerasnya kehidupan dan himpitan ekonomi Dalam sebuah riwayat digambarkan; ‘Dari Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Barang siapa yang bersabar atas kesulitan dan himpitan kehidupannya, maka aku akan menjadi saksi atau pemberi syafaat baginya pada hari kiamat. (HR. Turmudzi). Kiat-Kiat untuk Meningkatkann Kesabaran Ketidaksabaran (baca; isti’jal) merupakan salah satu penyakit hati, yang seyogyanya diantisipasi dan diterapi sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif dari amalan yang dilakukan seorang insan. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan untuk melaksanakan ibadah kepada Allah dsb. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa kiat, guna meningkatkan kesabaran. Diantara kiat-kiat tersebut adalah; 1. Mengkikhlaskan niat kepada Allah SWT, bahwa ia semata-mata berbuat hanya untuk-Nya. Dengan adanya niatan seperti ini, akan sangat menunjang munculnya kesabaran kepada Allah SWT. 2. Memperbanyak tilawah (baca; membaca) al-Qur’an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan makna-makna yang dikandungnya. Karena al-Qur’an merupakan obat bagi hati insan. Masuk dalam kategori ini juga dzikir kepada Allah. 3. Memperbanyak puasa sunnah. Karena puasa merupakan hal yang dapat mengurangi hawa nafsu terutama yang bersifat syahwati dengan lawan jenisnya. Puasa juga merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabaran. 4. Mujahadatun Nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat dan maksimal guna mengalahkan keinginan-keinginan jiwa yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas, marah, kikir, dsb. 5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna. Sedangkan ketidaksabaran (isti’jal), memiliki prosentase yang cukup besar untuk menjadikan amalan seseorang tidak optimal. Apalagi jika merenungkan bahwa sesungguhnya Allah akan melihat “amalan” seseorang yang dilakukannya, dan bukan melihat pada hasilnya. (Lihat QS. 9 : 105) 6. Perlu mengadakan latihan-latihan untuk sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah, dsb. 7. Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi’in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Karena hal ini juga akan menanamkan keteladanan yang patut dicontoh dalam kehidupan nyata di dunia. Penutup Inilah sekelumit sketsa mengenai kesabaran. Pada intinya, bahwa sabar mereupakan salah satu sifat dan karakter orang mu’min, yang sesungguhnya sifat ini dapat dimiliki oleh setiap insan. Karena pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk mengembangkan sikap sabar ini dalam hidupnya. Sabar tidak identik dengan kepasrahan dan menyerah pada kondisi yang ada, atau identik dengan keterdzoliman. Justru sabar adalah sebuah sikap aktif, untuk merubah kondisi yang ada, sehingga dapat menjadi lebih baik dan baik lagi. Oleh karena itulah, marilah secara bersama kita berusaha untuk menggapai sikap ini. Insya Allah, Allah akan memberikan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha di jalan-Nya. Wallahu A’lam By. Rikza Maulan, Lc. M.Ag. Sumber:http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-hadits/makna-sabar.h

Selasa, 04 Desember 2012

PENGERTIAN SOCIOPRENEURSHIP

Pengertian Sociopreneurship ialah kewirausahaan berbasis sosial yang mana suatu bidang bisnis yang setiap individu dapat menggerakkan masyarakat sosial agar dapat berdaya saing secara global. Sociopreneurship adalah seni pengindahan kehidupan secara real. Kreatifitas yang tepat guna adalah nafasnya. Seorang sociopreneur, adlah manusia yang sadar cara menyeimbangkan tugas fisik sebagai manusia dan tugas hati sebagai manusia. Sociopreneurship....berbisnis, berusaha sukses, demi membantu lebih banyak orang.

Sabtu, 01 Desember 2012

PERBEDAAN EKONOMI BERBASIS SYARIAH DAN KONVENSIONAL

KONVENSIONAL vs SYARIAH The historical success of Islam in providing the framework for a thriving world economy from the seventh to the fifteenth centuries is a matter of historical record, but it does not answer the question of whether Islam in particular, or religion and spirituality in general, are helpful to or necessary for the ethical conduct of business in the modern world. Modern institutions have allowed for corporate activity on an unprecedented scale, impossible in the era before the development of the modern corporation. Islam sebagai suatu agama telah ditempatkan sebagai suatu pilihan dan sekaligus ajarannya dijadikan pedoman dalam kehidupan umat manusia yang memeluknya. Sehingga keberadaannya telah memberikan arahan dalam pengembangan peradaban umat manusia, utamanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Maraknya pemikiran, diskusi dan pengkajian tentang ekonomi Islam, telah berpengaruh besar terhadap pertumbuhan sistem bisnis berdasarkan syariah pada umumnya dan lembaga keuangan syariah pada khususnya. Ekonomi Islam atau Ekonomi berbasis Syariah adalah sebuah sistem ekonomi yang memiliki tujuan utama untuk kesejahteraan umat. Sistem ekonomi syariah berpedoman penuh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum-hukum yang melandasi prosedur transaksinya sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan. Kesejahteraan masyarakat dalam Ekonomi Islam tidak hanya diukur dari aspek materilnya, namun mempertimbangkan dampak sosial, mental dan spiritual individu serta dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan. Ekonomi Konvensional telah menjadikan uang sebagai suatu komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih benyak diperdagangkan daripada difungsikan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjual belikan. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara. Islam tidak memperbolehkan sistem Money Demand for Speculation. Dalam Islam, uang adalah milik masyarakat, sehingga uang harus digunakan dalam kegiatankegiatan produktif. Penimbunan uang dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, sedangkan Islam memandang uang adalah Flow Concept, yaitu uang harus berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian. Terdapat perbedaan antara proses bisnis konvensional dan syariah, disini saya mengambil contoh dari sudut perbankan. Bank Syariah Bank Konvensional a. Berdasarkan prinsip investasi bagi hasil b. Menggunakan prinsip jual-beli a. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan c. Melakukan investasi-investasi yang halal saja e. Setiap produk dan jasa yang diberikan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah f. Dilarangnya gharar dan maisir g. Menciptakan keserasian diantara keduanya. h. Tidak memberikan dana secara tunai tetapi memberikan barang yang dibutuhkan (finance the goods and services) i. Bagi hasil menyeimbangkan sisi pasiva dan aktiva. a. Berdasarkan tujuan membungakan uang b. Menggunakan prinsip pinjam-meminjam uang. a. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur d. Investasi yang halal maupun yang haram e. Tidak mengenal Dewan sejenis itu. f. Terkadang terlibat dalam speculative FOREX dealing g. Berkontribusi dalam terjadinya kesenjangan antara sektor riel dengan sektor moneter. h. Memberikan peluang yang sangat besar untuk sight streaming (penyalah gunaan dana pinjaman) i. Rentan terhadap negative spread Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat adanya perbedaan antara investasi dan pembungaan uang. Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung risiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian. Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki risiko karena adanya persentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal. Bunga Bagi Hasil a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. b. Besarnya bunga adalah suatu persen-tase tertentu terhadap besarnya uang yang dipinjamkan. b. Besarnya bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbang-kan apakah proyek/usaha yang dijalankan oleh nasabah / mudharib untung atau rugi. c. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. a. Penentuan besarnya nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung-rugi. b. Besarnya bagi hasil adalah berdasarkan nisbah terhadap besar-nya keuntungan yang diperoleh. c. Besarnya bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek/usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi maka kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana, kecuali kerugian karena kelalaian, salah urus, atau pelanggaran oleh mudharib. d. Tidak ada yang meragukan keabsah-an bagi-hasil. Pendapat saya, kita sebagai umat muslim yang beragama tentu tahu yang mana yang akan kita ambil sesuai dengan penjelasan di atas, karena menyimpan uang di bank syariah termasuk kategori investasi. Besar-kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Selain itu islam juga mengajurkan untuk melakukan investasi dengan system bagi hasil dan bukan dengan sistem riba. Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya. Secara umum, riba diartikan sebagai tambahan uang maupun barang dalam suatu transaksi yang telah diisyaratkan sejak awal. Seluruh ulama sepakat mengenai haram hukumnya harta yang diperoleh secara riba. Seseorang dilarang memiliki dan menikmati harta riba tersebut dan harus dikembalikan kepada pemiliknya. Firman Allah SWT yang mengharamkan harta riba yang artinya: 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Sumber : Antonio, Muhammad Syafi’i, (2001), Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek (Gema Insani Press bekerja sama dengan Yayasan Tazkia Cendekia). Antonio, Muhammad Syafi’i, 2006, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Muhammad, 2002, “Pengantar Akuntansi Syariah”, Salemba Empat : Jakarta Umar Hamdan & Andi Wijaya, Analisis Komparatif Resiko Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional dan Syariah, Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya Vol.4 , No.7 Juni 2006

ISLAM DAN ENTREPRENEURSHIP

Islam dan Kewirausahaan Untuk meraih kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, Islam tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah mahdah, tapi juga sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, kendati demikian bukan berarti tanpa kendali. "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung". Q.S.62. al Jum’ah.A.10 Kewirausahaan (Inggris: Entrepreneurship) adalah proses mengidentifikasi, mengembangkaan, dan membawa visi ke dalam kehidupan. Visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu. Hasil akhir dari proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau ketidakpastian. Kewirausahaan memiliki arti yang berbeda-beda antar para ahli atau sumber acuan karena berbeda-beda titik berat dan penekanannya. Richard Cantillon (1775), misalnya, mendefinisikan kewirausahaan sebagai bekerja sendiri (self-employment).Seorang wirausahawan membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga tidak menentu. Jadi definisi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian.Berbeda dengan Cantillon, menurut Penrose (1963) kegiatan kewirausahaan mencakup indentfikasi peluang-peluang di dalam sistem ekonomi sedangkan menurut Harvey Leibenstein (1968, 1979) kewirausahaan mencakup kegiatan yang dibutuhkan untuk menciptakan atau melaksanakan perusahaan pada saat semua pasar belum terbentuk atau belum teridentifikasi dengan jelas, atau komponen fungsi produksinya belum diketahui sepenuhnya. Orang yang melakukan kegiatan kewirausahaan disebut wirausahawan. Proses kewirausahaan Menurut Carol Noore yang dikutip oleh Bygrave, proses kewirausahaan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi tersebut dipengeruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari pribadi maupun di luar pribadi, seperti pendidikan, sosiologi, organisasi, kebudayaan dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut membentuk ‘’locus of control’’, kreativitas, keinovasian, implementasi, dan pertumbuhan yang kemudian berkembangan menjadi wirausahawan yang besar. Secara internal, keinovasian dipengaruhi oleh faktor yang bersal dari individu, seperti ‘’locus of control’’, toleransi, nilai-nilai, pendidikan, pengalaman. Sedangkan faktor yang berasal dari lingkungan yang memengaruhi diantaranya model peran, aktivitas, dan peluang. Oleh karena itu, inovasi berkembang menjadi kewirausahaan melalui proses yang dipengaruhi lingkungan,organisasi, dan keluarga. Tahap-tahap kewirausahaan Secara umum tahap-tahap melakukan wirausaha: Tahap memulai Tahap di mana seseorang yang berniat untuk melakukan usaha mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, diawali dengan melihat peluang usaha baru yang mungkin apakah membuka usaha baru, melakukan akuisisi, atau melakukan ‘’franchising’’.Tahap ini juga memilih jenis usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian, industri, atau jasa. Tahap melaksanakan usaha Dalam tahap ini seorang wirausahawan mengelola berbagai aspek yang terkait dengan usahanya, mencakup aspek-aspek: pembiayaan, SDM, kepemilikan, organisasi, kepemimpinan yang meliputi bagaimana mengambil risiko dan mengambil keputusan, pemasaran, dan melakukan evaluasi. Tahap mempertahankan usaha Tahap di mana wirausahawan berdasarkan hasil yang telah dicapai melakukan analisis perkembangan yang dicapai untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Tahap mengembangkan usaha Tahap di mana jika hasil yang diperoleh tergolong positif atau mengalami perkembangan atau dapat bertahan maka perluasan usaha menjadi salah satu pilihan yang mungkin diambil. Faktor-faktor motivasi berwirausaha Ciri-ciri wirausaha yang berhasil: Memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk menebak ke mana langkah dan arah yang dituju sehingga dapat diketahui langkah yang harus dilakukan oleh pengusaha tersebut. Inisiatif dan selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar di mana pengusaha tidak hanya menunggu sesuatu terjadi, tetapi terlebih dahulu memulai dan mencari peluang sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan. Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih baik daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan, serta kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu segala aktifitas usaha yang dijalankan selalu dievaluasi dan harus lebih baik dibanding sebelumnya. Berani mengambil risiko. Hal ini merupakan sifat yang harus dimiliki seorang pengusaha kapanpun dan dimanapun, baik dalam bentuk uang maupun waktu. Kerja keras. Jam kerja pengusaha tidak terbatas pada waktu, di mana ada peluang di situ dia datang. Kadang-kadang seorang pengusaha sulit untuk mengatur waktu kerjanya. Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya.Ide-ide baru selalu mendorongnya untuk bekerja kerjas merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Bertanggungjawab terhadap segala aktivitas yang dijalankannya, baik sekarang maupun yang akan datang. Tanggung jawab seorang pengusaha tidak hanya pada segi material, tetapi juga moral kepada berbagai pihak. Komitmen pada berbagai pihak. Mengembangkan dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun tidak. Hubungan baik yang perlu dijalankan, antara lain kepada: para pelanggan,pemerintah, pemasok, serta masyarakat luas. Sumber: http://irmforsalim.blogspot.com/2009/06/yuk-berwirausaha.html