Sabtu, 01 Desember 2012

PERBEDAAN EKONOMI BERBASIS SYARIAH DAN KONVENSIONAL

KONVENSIONAL vs SYARIAH The historical success of Islam in providing the framework for a thriving world economy from the seventh to the fifteenth centuries is a matter of historical record, but it does not answer the question of whether Islam in particular, or religion and spirituality in general, are helpful to or necessary for the ethical conduct of business in the modern world. Modern institutions have allowed for corporate activity on an unprecedented scale, impossible in the era before the development of the modern corporation. Islam sebagai suatu agama telah ditempatkan sebagai suatu pilihan dan sekaligus ajarannya dijadikan pedoman dalam kehidupan umat manusia yang memeluknya. Sehingga keberadaannya telah memberikan arahan dalam pengembangan peradaban umat manusia, utamanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Maraknya pemikiran, diskusi dan pengkajian tentang ekonomi Islam, telah berpengaruh besar terhadap pertumbuhan sistem bisnis berdasarkan syariah pada umumnya dan lembaga keuangan syariah pada khususnya. Ekonomi Islam atau Ekonomi berbasis Syariah adalah sebuah sistem ekonomi yang memiliki tujuan utama untuk kesejahteraan umat. Sistem ekonomi syariah berpedoman penuh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum-hukum yang melandasi prosedur transaksinya sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan. Kesejahteraan masyarakat dalam Ekonomi Islam tidak hanya diukur dari aspek materilnya, namun mempertimbangkan dampak sosial, mental dan spiritual individu serta dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan. Ekonomi Konvensional telah menjadikan uang sebagai suatu komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih benyak diperdagangkan daripada difungsikan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjual belikan. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara. Islam tidak memperbolehkan sistem Money Demand for Speculation. Dalam Islam, uang adalah milik masyarakat, sehingga uang harus digunakan dalam kegiatankegiatan produktif. Penimbunan uang dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, sedangkan Islam memandang uang adalah Flow Concept, yaitu uang harus berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian. Terdapat perbedaan antara proses bisnis konvensional dan syariah, disini saya mengambil contoh dari sudut perbankan. Bank Syariah Bank Konvensional a. Berdasarkan prinsip investasi bagi hasil b. Menggunakan prinsip jual-beli a. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan c. Melakukan investasi-investasi yang halal saja e. Setiap produk dan jasa yang diberikan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah f. Dilarangnya gharar dan maisir g. Menciptakan keserasian diantara keduanya. h. Tidak memberikan dana secara tunai tetapi memberikan barang yang dibutuhkan (finance the goods and services) i. Bagi hasil menyeimbangkan sisi pasiva dan aktiva. a. Berdasarkan tujuan membungakan uang b. Menggunakan prinsip pinjam-meminjam uang. a. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur d. Investasi yang halal maupun yang haram e. Tidak mengenal Dewan sejenis itu. f. Terkadang terlibat dalam speculative FOREX dealing g. Berkontribusi dalam terjadinya kesenjangan antara sektor riel dengan sektor moneter. h. Memberikan peluang yang sangat besar untuk sight streaming (penyalah gunaan dana pinjaman) i. Rentan terhadap negative spread Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat adanya perbedaan antara investasi dan pembungaan uang. Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung risiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian. Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki risiko karena adanya persentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal. Bunga Bagi Hasil a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. b. Besarnya bunga adalah suatu persen-tase tertentu terhadap besarnya uang yang dipinjamkan. b. Besarnya bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbang-kan apakah proyek/usaha yang dijalankan oleh nasabah / mudharib untung atau rugi. c. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. a. Penentuan besarnya nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung-rugi. b. Besarnya bagi hasil adalah berdasarkan nisbah terhadap besar-nya keuntungan yang diperoleh. c. Besarnya bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek/usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi maka kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana, kecuali kerugian karena kelalaian, salah urus, atau pelanggaran oleh mudharib. d. Tidak ada yang meragukan keabsah-an bagi-hasil. Pendapat saya, kita sebagai umat muslim yang beragama tentu tahu yang mana yang akan kita ambil sesuai dengan penjelasan di atas, karena menyimpan uang di bank syariah termasuk kategori investasi. Besar-kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Selain itu islam juga mengajurkan untuk melakukan investasi dengan system bagi hasil dan bukan dengan sistem riba. Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya. Secara umum, riba diartikan sebagai tambahan uang maupun barang dalam suatu transaksi yang telah diisyaratkan sejak awal. Seluruh ulama sepakat mengenai haram hukumnya harta yang diperoleh secara riba. Seseorang dilarang memiliki dan menikmati harta riba tersebut dan harus dikembalikan kepada pemiliknya. Firman Allah SWT yang mengharamkan harta riba yang artinya: 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Sumber : Antonio, Muhammad Syafi’i, (2001), Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek (Gema Insani Press bekerja sama dengan Yayasan Tazkia Cendekia). Antonio, Muhammad Syafi’i, 2006, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Muhammad, 2002, “Pengantar Akuntansi Syariah”, Salemba Empat : Jakarta Umar Hamdan & Andi Wijaya, Analisis Komparatif Resiko Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional dan Syariah, Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya Vol.4 , No.7 Juni 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar